Kamis, 19 Agustus 2010

Esai Pengantar untuk Esai-esai-Sayembara

Oleh Arip Senjaya

1. Refleksi: Diri sebagai Teks
Esai adalah tentang keberadaan diri dalam hubungannya dengan sekian teks yang sedang dibaca, dan teks adalah rajutan objek-objek, termasuk diri itu sendiri. Di sinilah kita bisa bertemu ‘refleksi’, salah satu kata kunci esai. Tidaklah refleksi dimungkinkan oleh tiadanya subjek. Dan refleksi tidak identik dengan ‘uraian’ mengingat sifatnya yang tidak metodis-saintis, tapi ‘metodis-khas’ masing-masing subjek, dan karenanya subjektivitas adalah corak esai. Ketika esai kehilangan corak subjeknya, ia telah kufur nikmat pada aspek bhineka dalam kehidupan: meniadakan diri sebagai beda. Memang secar a epistemologis penjelasan di atas agak aneh ketika Anda mungkin bertanya: apabila diri bisa membaca diri, diri-yang-membaca itu diri yang mana atau diri siapa? Dan siapa pula diri yang sedang dibaca oleh diri yang membaca itu? Ketika diri menatap objek, kita bisa meletakkan diri sebagai subjek; tapi ketika diri membaca dirinya sendiri, tidakkah diri tersebut kehilangan objek atau mengobjektivikasi dirinya? Tapi siapa yang mengobjektivikasi?

2. Menggoda Subjektivitas
Seluruh pertanyaan Anda bertumpu pada epistemologi refleksi, yakni kemampuan diri memandang diri: subjek→subjek. Subjek yang dipandang ini adalah subjek yang diobjektivikasi. Tapi refleksi juga bisa berlaku subjek→objek dengan syarat tidak bersahaja dalam ontologi: tidak mengatakan X-kenyataan sebagai X dalam dirinya sendiri. Lagi pula tidak ada objek yang berdiri sendiri, murni di dalam dirinya. Selama kita memandang selama itu pula kita terlibat di dalam objek, kita terajut di/ke dalamnya. Maka yang kedua, kata kunci esai adalah ‘menggoda subjektivitas’ dalam saat diri memandang objek: berusaha memunculkan daya-diri. Ketika karangan ilmiah menolak diri, karangan esai justru memberi tempat pada godaan subjektif yang akhirnya ditemukan sebagai cara yang lalu menjadi corak.

3. Tentang ‘Saya’ dan Watak Manusiawi Subjek
Esai-esai ditandai oleh hadirnya ‘saya’, tapi perhatikan, bukan adanya ‘saya’ yang membuat sebuah tulisan menjadi esai. Andaikata berbagai skripsi, tesis, disertasi, dan berbagai karya ilmiah dalam jurnal atau makalah seminar diganti kata ‘penulis’nya atau ‘peneliti’nya dengan kata ‘saya’, tulisan-tulisan itu tidak lantas menjadi esai. Apa pun nama subjek, mau ‘saya’ mau ‘penulis’ sebuah tulisan menjadi esai bila memiliki watak manusiawi. Apa saja itu? Jawabannya sangat banyak. Meletakkan diri sebagai orang pintar yang mengerti atau paling tahu masalah tentu tidak manusiawi, karena manusia menjadi manusiawi ketika ia juga dungu, naif, lucu, sentimentil, peragu, pendusta, romantik, gagap, dst. Karena itu, berbagai ahli menulis selalu menekankan kata jujur. Jujur dalam karangan ilmiah berbeda dengan jujur dalam karangan esai. Kejujuran yang pertama ‘sesuai dengan kaidah ilmiah’, kejujuran yang kedua ‘sesuai dengan kejujuran diri sebagai manusia’. Menulis masalah video mesum yang belakangan marak terjadi di Indonesia dengan nada seakan-akan Anda sendiri tidak menonton dan tidak ikut terangsang dapat diajukan di sini sebagai contoh ketidakjujuran seorang penulis.

4. Esai bukan Opini
Esai memang berpendapat, tetapi pendapatnya itu juga —bahkan terutama!— untuk diri sendiri. Sedangkan pendapat untuk orang lain, meletakkan diri sebagai sang pemberi solusi yang maha hebat, adalah tugas para penulis opini. Menjadi penulis opini lebih mudah, yang penting Anda tidak cacat dan tampak paling tahu, kalau perlu JADILAH PALING BENAR. Rata-rata mahasiswa punya bakat dalam menulis opini karena terbiasa berteriak lantang membela kebenaran dan menghujat kejahatan dan merasa diri jadi hero. Menghujat memang selalu lebih gampang daripada mengajak orang untuk mendengar kata hati Anda sendiri. Kata hati itu tidak selalu sejalan dengan kata otak. Kata otak biasanya sejalan dengan kata dada, kata perut, dan kata syahwat. Tapi kata hati dapat membuat kata otak, kata dada, kata perut, dan kata syahwat dapat bercermin sehingga dapat dapat memandang diri apa adanya. Tapi perhatikan bahwa tulisan-tulisan esai juga suatu sumbangan opini ketika ia merefleksikan hal yang aktual.

5. Masalah Referensi
Apakah esai memerlukan referensi? Tentu saja, tetapi referensi seorang esais harus jauh lebih banyak dan jauh lebih beragam daripada referensi penulis ilmiah atau penulis opini. Karena itulah penulis esai itu langka. Apabila jumlah sarjana yang dapat menulis karangan ilmiah di negara ini sudah ribuan jumlahnya, penulis esai itu masih belasan saja. Dan, referensi bagi seorang esais bukan untuk dikutip, apalagi dikutip sembarangan, apalagi untuk gaya-gayaan. Referensi adalah aneka teman dialog semata yang diperlakukan secara akrab dan adil. Tidaklah adil bagi seorang esais yang menulis masalah HAM apabila pandangannya hanya bertumpu pada definisi HAM dari ahli HAM saja. Dengarlah juga definisi HAM dari mereka yang menyukai si Milo, seekor anjing yang setia menyertai petualang Tintin, atau HAM menurut seorang penyair, atau HAM menurut badut dalam pagelaran wayang, atau HAM menurut tokoh yang pernah hidup di abad yang jauh, sehingga akhirnya terdengar juga definisi HAM menurut diri sendiri. Berbagai pengertian itu bukan untuk diunduh dan disimpulkan begitu saja, tapi untuk dirajut dengan penuh kreativitas berdasarkan nalar-subjektif yang menjamin pembaca dapat mendengar dengan saksama, dekat, dan akrab.

6. Apakah Esai itu Sejenis Karya Sastra?
Mereka yang memandang esai sebagai bagian dari karya sastra mungkin karena menemukan ciri-ciri sastra di dalam esai, yakni dalam bahasanya. Tapi esai menjadi esai bukan karena struktur muka tersebut. Esai tetap bertumpu pada adanya objek, meliputi fakta, peristiwa, dan bahkan data. Sedangkan karya sastra bukan pada objek, tetapi pada kemungkinan merajut objek dalam imajinasi yang tak terbatas dalam batas (!) kaidah sastra. Menulis novel, misalnya, Anda dapat bebas memperlakukan peristiwa yang awalnya nyata menjadi multi-kenyataan, dan Anda tidak akan digugat, karena tujuannya memang memberikan dimensi lain pengalaman manusia yang mungkin. Kegagalan akan terjadi ketika novel dijadikan alat penyampai dakwah atau harga mati sebuah kebenaran (doktrin). Novel yang demikian, dalam alur, misalnya, akan berusaha menjadi alur sejarah, bukan alur fiksi. Mengapa novelis itu tidak menulis sejarah saja bila ia memang ingin bicara fakta sejarah. Mengapa pula ia tidak menjadi dai apabila ingin berceramah. Yang menyamakan esai-esai penting dan karya-karya sastra penting adalah kemampuan reflektifnya. Refleksi esai memantul ke dalam fakta, refleksi sastra memantul pada universalitas, terutama dalam puisi. Ketika seorang penyair berdiri di tepi pantai Anyer dan ia mengatakan laut…bla bla bla, maka ‘laut’ yang dimaksudnya bukan lagi laut Anyer, atau laut yang lain, tapi laut dalam pengalaman kemanusiaannya, universalitas laut. Bahkan ketika ia mengatakan Anyer, bla bla bla, tentu saja bukan ‘Anyer’ yang biasa dibahas para penulis opini atau para jurnalis. Esais dapat saja memasuki universalitas, tapi tidak untuk universalitas semata. Esai-esai yang menjangkau universalitas hanyalah esai-esai yang ditulis oleh kaum filosof yang mencari filsafat pertama, bukan filsafat khusus.

7. Bagaimana Memulai Esai?
Mulailah menulis esai dengan mematangkan tesis Anda sendiri. Tesis adalah pernyataan yang ingin ditegaskan menurut versi Anda, bukan versi yang lain, dan sifatnya kuat —sukar digugat. Tapi bersamaan dengan menulis, Anda sesungguhnya sedang menggoda tesis tersebut dengan kemungkinan lain yang mungkin menguatkannya atau mungkin menggugurkannya. Inilah yang —berturut-turut— disebut afirmasi dan negasi. Karena itu esai dapat berakhir dengan terbuka, memancing orang; mengambang, membuat orang ikut merenung, berfilsafat; kecewa, karena Anda menjadi paradoks dan Anda sendiri tidak dapat menyelesaikannya, misalnya; tertawa, karena Anda mendadak melihat lucunya pernyataan Anda sendiri; puitik, karena Anda mengemasnya dengan terlampau sentimentil, dst. Berikut ini adalah contoh-contoh tesis: (1) “Mungkin benar, yang menang adalah yang tertawa paling akhir”; (2) “Kalau mimpi bisa jadi kenyataan, kenyataan juga bisa jadi mimpi”; (3) “Berbicara yang baik adalah berbicara yang tepat waktu”; (4) “Menjadi orang baik harus mujur”; (5) “Lebih banyak patung daripada pematungnya”; (6) “Tidak ada kematian yang tidak wajar. Hanya ada dua kemungkinan untuk kematian: satu penyakit, satunya lagi kecelakaan. Kalaupun ada yang ketiga, pastilah karena takdir”; (7) “Kalau masyarakat sudah hidup dalam keadilan, seni tidak dibutuhkan”; (8) “Guru yang berhasil memiliki sejumlah penerus”; (9) “Tertawa membuat orang sehat. Tapi dalam faktanya banyak pelawak mati muda, dan banyak pemikir panjang umur”; (10) “Banyak pasangan pengantin yang tampak tidak berbahagia di hari pernikahan. Tangan mereka dingin. Mata mereka tampak kosong”; (11) “Penghinaan-penghinaan yang menyerang fisik kita mungkin dimaksudkan untuk menyerang akhlak kita”; (12) “Lebih banyak cinta yang datang terlambat daripada yang tepat waktu”; (13) “Tuhan tidak membutuhkan pelayan. Tuhanlah yang melayani”; (14) “Laut menyebabkan manusia dapat memperpendek jarak tempuh dari pulau ke pulau”; (15) “Segala sesuatu bisa diubah oleh kesepakatan, termasuk sains”; (16) dst. Dari mana tesis-tesis itu bisa Anda dapatkan? Anda bisa mendapatkannya dengan cara memeras saripati pengalaman kehidupan, atau yang mudah dilakukan adalah “mencuri” tesis-tesis para pemikir atau orang-orang yang dihormati para pemikir. Dan ingatlah bahwa tesis tidak selalu eksplisit. Bahkan lebih banyak tesis yang tersembunyi. “Curi”lah tesis-tesis itu untuk Anda miliki secara diam-diam, diperam dalam renungan, hingga akhirnya berbagai koleksi tesis itu menjadi referensi yang menggoda Anda untuk mencari posisi yang berbeda.

8. Kearifan
Lebih banyak orang ingin tambah pintar daripada yang ingin menjadi tambah arif. Menjadi seorang esais mestilah memiliki porsi kearifan yang lebih besar daripada kepintaran. Bahkan kearifan adalah tujuan para pemikir besar di dunia. Kita bisa ingat bahwa kadang kearifan tidak sejalan dengan kejeniusan. Seorang penemu bom nuklir dapat mengatakan bahwa bom nuklir bukan untuk diledakkan, seorang pembela HAM yang mati-matian bisa jadi memiliki sejumlah pandangan yang pesimistik tentang ide-ide HAM. Kearifan sering ditandai oleh ketidakberpihakan. Video mesum, misalnya, mungkin ditentang dan dimusuhi bukan karena dosa, tapi karena telanjang di saat banyak orang —sadar atau tidak— masih sepakat berdosa harus tertutup. Mungkin bukan soal dosa yang sedang digugat, tapi soal etika berdosa, dan sedikit orang yang menyadari pokok keributan mereka. Serangan-serangan kepada para pelaku dengan mengatakan mereka berdosa adalah bahasa umum, sedangkan esais harus kritis pada bahasa umum. Kearifan bertujuan membebaskan diri dan orang lain dari hal-hal yang sudah jamak dan tak memiliki jalan keluar.

9. Bahasa Esai
Bahasa esai tidak dapat ditentukan oleh aturan bahasa. Bahasa esai sepenuhnya adalah bahasa khas esaisnya, tapi tetap menjamin pembacanya dapat mengerti. Sasaran esais adalah pembaca umum, karena itu esais menghindari bahasa-bahasa ilmiah yang tidak dipahami secara umum. Musuh esai adalah bahasa yang kaku. Sahabat esai adalah bahasa yang akrab. Karena itu, sejumlah ahli esai mengatakan menulis esai seperti berbincang-bincang dengan beberapa teman akrab di sebuah kafe. Dan pembicara yang baik selalu menyadari kehadiran orang-orang ini. Ia harus membagi wajah dan tahu siapa yang mengerti dan siapa yang tidak, tahu pula siapa yang lebih pintar darinya. Pengetahuan ini sangat menentukan kata-kata yang digunakan. Kita selalu diminta lincah menghadapi sejumlah orang yang berbeda-beda itu. Itu sebabnya seorang esais tidak hanya harus akrab dengan bahasa nasional, ia juga akrab dengan istilah-istilah asing, dan istilah-istilah lokal, serta istilah-istilah yang sedang populer. Beberapa ahli esai mengatakan esai juga sebuah gumam! Ya, tapi gumam yang baik tetaplah gumam yang menghadirkan orang lain. Tidak ada penulis besar yang sendirian. Para penulis besar membayangkan pembaca dalam jumlah yang besar, dirinya, orang lain dalam berbagai segmen intelektual, umur, status, jenis kelamin, dst.

10. Penutup
Selamat kepada para peserta, dan terutama para juara. Semoga lomba ini benar-benar menjadi awal peserta sekalian dalam mengenal esai, sekurang-kurangnya mengenal istilahnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites