Niduparas Erlang Goes To UWRF 2012

Selamat kepada Niduparas Erlang sebagai salah satu penulis muda yang diundang untuk menghadiri Ubud Writers and Readers Festival 2012.

Sayembara Cerpen 2011

Para pemenang, dan panitia sayembara seusai seminar menulis bersama Kurnia Effendi.

Bedah Buku Hikayat Pemanen Ketang

Bedah buku Hikayat Pemanen Kentang, Mugya Syahreza Santosa 2011

Belistra Bergema 2011

Pose anggota Belistra dan kawan-kawan, beserta buku-buku yang dibedah dalam acara Belistra Bergema 2011.

Perjalanan Kebudayaan 2011

Perjalanan Kebudayaan yang merupakan program tahunan Belistra, kali ini menuju Ujung Kulon.

Kamis, 19 Agustus 2010

Esai Pengantar untuk Esai-esai-Sayembara

Oleh Arip Senjaya

1. Refleksi: Diri sebagai Teks
Esai adalah tentang keberadaan diri dalam hubungannya dengan sekian teks yang sedang dibaca, dan teks adalah rajutan objek-objek, termasuk diri itu sendiri. Di sinilah kita bisa bertemu ‘refleksi’, salah satu kata kunci esai. Tidaklah refleksi dimungkinkan oleh tiadanya subjek. Dan refleksi tidak identik dengan ‘uraian’ mengingat sifatnya yang tidak metodis-saintis, tapi ‘metodis-khas’ masing-masing subjek, dan karenanya subjektivitas adalah corak esai. Ketika esai kehilangan corak subjeknya, ia telah kufur nikmat pada aspek bhineka dalam kehidupan: meniadakan diri sebagai beda. Memang secar a epistemologis penjelasan di atas agak aneh ketika Anda mungkin bertanya: apabila diri bisa membaca diri, diri-yang-membaca itu diri yang mana atau diri siapa? Dan siapa pula diri yang sedang dibaca oleh diri yang membaca itu? Ketika diri menatap objek, kita bisa meletakkan diri sebagai subjek; tapi ketika diri membaca dirinya sendiri, tidakkah diri tersebut kehilangan objek atau mengobjektivikasi dirinya? Tapi siapa yang mengobjektivikasi?

2. Menggoda Subjektivitas
Seluruh pertanyaan Anda bertumpu pada epistemologi refleksi, yakni kemampuan diri memandang diri: subjek→subjek. Subjek yang dipandang ini adalah subjek yang diobjektivikasi. Tapi refleksi juga bisa berlaku subjek→objek dengan syarat tidak bersahaja dalam ontologi: tidak mengatakan X-kenyataan sebagai X dalam dirinya sendiri. Lagi pula tidak ada objek yang berdiri sendiri, murni di dalam dirinya. Selama kita memandang selama itu pula kita terlibat di dalam objek, kita terajut di/ke dalamnya. Maka yang kedua, kata kunci esai adalah ‘menggoda subjektivitas’ dalam saat diri memandang objek: berusaha memunculkan daya-diri. Ketika karangan ilmiah menolak diri, karangan esai justru memberi tempat pada godaan subjektif yang akhirnya ditemukan sebagai cara yang lalu menjadi corak.

3. Tentang ‘Saya’ dan Watak Manusiawi Subjek
Esai-esai ditandai oleh hadirnya ‘saya’, tapi perhatikan, bukan adanya ‘saya’ yang membuat sebuah tulisan menjadi esai. Andaikata berbagai skripsi, tesis, disertasi, dan berbagai karya ilmiah dalam jurnal atau makalah seminar diganti kata ‘penulis’nya atau ‘peneliti’nya dengan kata ‘saya’, tulisan-tulisan itu tidak lantas menjadi esai. Apa pun nama subjek, mau ‘saya’ mau ‘penulis’ sebuah tulisan menjadi esai bila memiliki watak manusiawi. Apa saja itu? Jawabannya sangat banyak. Meletakkan diri sebagai orang pintar yang mengerti atau paling tahu masalah tentu tidak manusiawi, karena manusia menjadi manusiawi ketika ia juga dungu, naif, lucu, sentimentil, peragu, pendusta, romantik, gagap, dst. Karena itu, berbagai ahli menulis selalu menekankan kata jujur. Jujur dalam karangan ilmiah berbeda dengan jujur dalam karangan esai. Kejujuran yang pertama ‘sesuai dengan kaidah ilmiah’, kejujuran yang kedua ‘sesuai dengan kejujuran diri sebagai manusia’. Menulis masalah video mesum yang belakangan marak terjadi di Indonesia dengan nada seakan-akan Anda sendiri tidak menonton dan tidak ikut terangsang dapat diajukan di sini sebagai contoh ketidakjujuran seorang penulis.

4. Esai bukan Opini
Esai memang berpendapat, tetapi pendapatnya itu juga —bahkan terutama!— untuk diri sendiri. Sedangkan pendapat untuk orang lain, meletakkan diri sebagai sang pemberi solusi yang maha hebat, adalah tugas para penulis opini. Menjadi penulis opini lebih mudah, yang penting Anda tidak cacat dan tampak paling tahu, kalau perlu JADILAH PALING BENAR. Rata-rata mahasiswa punya bakat dalam menulis opini karena terbiasa berteriak lantang membela kebenaran dan menghujat kejahatan dan merasa diri jadi hero. Menghujat memang selalu lebih gampang daripada mengajak orang untuk mendengar kata hati Anda sendiri. Kata hati itu tidak selalu sejalan dengan kata otak. Kata otak biasanya sejalan dengan kata dada, kata perut, dan kata syahwat. Tapi kata hati dapat membuat kata otak, kata dada, kata perut, dan kata syahwat dapat bercermin sehingga dapat dapat memandang diri apa adanya. Tapi perhatikan bahwa tulisan-tulisan esai juga suatu sumbangan opini ketika ia merefleksikan hal yang aktual.

5. Masalah Referensi
Apakah esai memerlukan referensi? Tentu saja, tetapi referensi seorang esais harus jauh lebih banyak dan jauh lebih beragam daripada referensi penulis ilmiah atau penulis opini. Karena itulah penulis esai itu langka. Apabila jumlah sarjana yang dapat menulis karangan ilmiah di negara ini sudah ribuan jumlahnya, penulis esai itu masih belasan saja. Dan, referensi bagi seorang esais bukan untuk dikutip, apalagi dikutip sembarangan, apalagi untuk gaya-gayaan. Referensi adalah aneka teman dialog semata yang diperlakukan secara akrab dan adil. Tidaklah adil bagi seorang esais yang menulis masalah HAM apabila pandangannya hanya bertumpu pada definisi HAM dari ahli HAM saja. Dengarlah juga definisi HAM dari mereka yang menyukai si Milo, seekor anjing yang setia menyertai petualang Tintin, atau HAM menurut seorang penyair, atau HAM menurut badut dalam pagelaran wayang, atau HAM menurut tokoh yang pernah hidup di abad yang jauh, sehingga akhirnya terdengar juga definisi HAM menurut diri sendiri. Berbagai pengertian itu bukan untuk diunduh dan disimpulkan begitu saja, tapi untuk dirajut dengan penuh kreativitas berdasarkan nalar-subjektif yang menjamin pembaca dapat mendengar dengan saksama, dekat, dan akrab.

6. Apakah Esai itu Sejenis Karya Sastra?
Mereka yang memandang esai sebagai bagian dari karya sastra mungkin karena menemukan ciri-ciri sastra di dalam esai, yakni dalam bahasanya. Tapi esai menjadi esai bukan karena struktur muka tersebut. Esai tetap bertumpu pada adanya objek, meliputi fakta, peristiwa, dan bahkan data. Sedangkan karya sastra bukan pada objek, tetapi pada kemungkinan merajut objek dalam imajinasi yang tak terbatas dalam batas (!) kaidah sastra. Menulis novel, misalnya, Anda dapat bebas memperlakukan peristiwa yang awalnya nyata menjadi multi-kenyataan, dan Anda tidak akan digugat, karena tujuannya memang memberikan dimensi lain pengalaman manusia yang mungkin. Kegagalan akan terjadi ketika novel dijadikan alat penyampai dakwah atau harga mati sebuah kebenaran (doktrin). Novel yang demikian, dalam alur, misalnya, akan berusaha menjadi alur sejarah, bukan alur fiksi. Mengapa novelis itu tidak menulis sejarah saja bila ia memang ingin bicara fakta sejarah. Mengapa pula ia tidak menjadi dai apabila ingin berceramah. Yang menyamakan esai-esai penting dan karya-karya sastra penting adalah kemampuan reflektifnya. Refleksi esai memantul ke dalam fakta, refleksi sastra memantul pada universalitas, terutama dalam puisi. Ketika seorang penyair berdiri di tepi pantai Anyer dan ia mengatakan laut…bla bla bla, maka ‘laut’ yang dimaksudnya bukan lagi laut Anyer, atau laut yang lain, tapi laut dalam pengalaman kemanusiaannya, universalitas laut. Bahkan ketika ia mengatakan Anyer, bla bla bla, tentu saja bukan ‘Anyer’ yang biasa dibahas para penulis opini atau para jurnalis. Esais dapat saja memasuki universalitas, tapi tidak untuk universalitas semata. Esai-esai yang menjangkau universalitas hanyalah esai-esai yang ditulis oleh kaum filosof yang mencari filsafat pertama, bukan filsafat khusus.

7. Bagaimana Memulai Esai?
Mulailah menulis esai dengan mematangkan tesis Anda sendiri. Tesis adalah pernyataan yang ingin ditegaskan menurut versi Anda, bukan versi yang lain, dan sifatnya kuat —sukar digugat. Tapi bersamaan dengan menulis, Anda sesungguhnya sedang menggoda tesis tersebut dengan kemungkinan lain yang mungkin menguatkannya atau mungkin menggugurkannya. Inilah yang —berturut-turut— disebut afirmasi dan negasi. Karena itu esai dapat berakhir dengan terbuka, memancing orang; mengambang, membuat orang ikut merenung, berfilsafat; kecewa, karena Anda menjadi paradoks dan Anda sendiri tidak dapat menyelesaikannya, misalnya; tertawa, karena Anda mendadak melihat lucunya pernyataan Anda sendiri; puitik, karena Anda mengemasnya dengan terlampau sentimentil, dst. Berikut ini adalah contoh-contoh tesis: (1) “Mungkin benar, yang menang adalah yang tertawa paling akhir”; (2) “Kalau mimpi bisa jadi kenyataan, kenyataan juga bisa jadi mimpi”; (3) “Berbicara yang baik adalah berbicara yang tepat waktu”; (4) “Menjadi orang baik harus mujur”; (5) “Lebih banyak patung daripada pematungnya”; (6) “Tidak ada kematian yang tidak wajar. Hanya ada dua kemungkinan untuk kematian: satu penyakit, satunya lagi kecelakaan. Kalaupun ada yang ketiga, pastilah karena takdir”; (7) “Kalau masyarakat sudah hidup dalam keadilan, seni tidak dibutuhkan”; (8) “Guru yang berhasil memiliki sejumlah penerus”; (9) “Tertawa membuat orang sehat. Tapi dalam faktanya banyak pelawak mati muda, dan banyak pemikir panjang umur”; (10) “Banyak pasangan pengantin yang tampak tidak berbahagia di hari pernikahan. Tangan mereka dingin. Mata mereka tampak kosong”; (11) “Penghinaan-penghinaan yang menyerang fisik kita mungkin dimaksudkan untuk menyerang akhlak kita”; (12) “Lebih banyak cinta yang datang terlambat daripada yang tepat waktu”; (13) “Tuhan tidak membutuhkan pelayan. Tuhanlah yang melayani”; (14) “Laut menyebabkan manusia dapat memperpendek jarak tempuh dari pulau ke pulau”; (15) “Segala sesuatu bisa diubah oleh kesepakatan, termasuk sains”; (16) dst. Dari mana tesis-tesis itu bisa Anda dapatkan? Anda bisa mendapatkannya dengan cara memeras saripati pengalaman kehidupan, atau yang mudah dilakukan adalah “mencuri” tesis-tesis para pemikir atau orang-orang yang dihormati para pemikir. Dan ingatlah bahwa tesis tidak selalu eksplisit. Bahkan lebih banyak tesis yang tersembunyi. “Curi”lah tesis-tesis itu untuk Anda miliki secara diam-diam, diperam dalam renungan, hingga akhirnya berbagai koleksi tesis itu menjadi referensi yang menggoda Anda untuk mencari posisi yang berbeda.

8. Kearifan
Lebih banyak orang ingin tambah pintar daripada yang ingin menjadi tambah arif. Menjadi seorang esais mestilah memiliki porsi kearifan yang lebih besar daripada kepintaran. Bahkan kearifan adalah tujuan para pemikir besar di dunia. Kita bisa ingat bahwa kadang kearifan tidak sejalan dengan kejeniusan. Seorang penemu bom nuklir dapat mengatakan bahwa bom nuklir bukan untuk diledakkan, seorang pembela HAM yang mati-matian bisa jadi memiliki sejumlah pandangan yang pesimistik tentang ide-ide HAM. Kearifan sering ditandai oleh ketidakberpihakan. Video mesum, misalnya, mungkin ditentang dan dimusuhi bukan karena dosa, tapi karena telanjang di saat banyak orang —sadar atau tidak— masih sepakat berdosa harus tertutup. Mungkin bukan soal dosa yang sedang digugat, tapi soal etika berdosa, dan sedikit orang yang menyadari pokok keributan mereka. Serangan-serangan kepada para pelaku dengan mengatakan mereka berdosa adalah bahasa umum, sedangkan esais harus kritis pada bahasa umum. Kearifan bertujuan membebaskan diri dan orang lain dari hal-hal yang sudah jamak dan tak memiliki jalan keluar.

9. Bahasa Esai
Bahasa esai tidak dapat ditentukan oleh aturan bahasa. Bahasa esai sepenuhnya adalah bahasa khas esaisnya, tapi tetap menjamin pembacanya dapat mengerti. Sasaran esais adalah pembaca umum, karena itu esais menghindari bahasa-bahasa ilmiah yang tidak dipahami secara umum. Musuh esai adalah bahasa yang kaku. Sahabat esai adalah bahasa yang akrab. Karena itu, sejumlah ahli esai mengatakan menulis esai seperti berbincang-bincang dengan beberapa teman akrab di sebuah kafe. Dan pembicara yang baik selalu menyadari kehadiran orang-orang ini. Ia harus membagi wajah dan tahu siapa yang mengerti dan siapa yang tidak, tahu pula siapa yang lebih pintar darinya. Pengetahuan ini sangat menentukan kata-kata yang digunakan. Kita selalu diminta lincah menghadapi sejumlah orang yang berbeda-beda itu. Itu sebabnya seorang esais tidak hanya harus akrab dengan bahasa nasional, ia juga akrab dengan istilah-istilah asing, dan istilah-istilah lokal, serta istilah-istilah yang sedang populer. Beberapa ahli esai mengatakan esai juga sebuah gumam! Ya, tapi gumam yang baik tetaplah gumam yang menghadirkan orang lain. Tidak ada penulis besar yang sendirian. Para penulis besar membayangkan pembaca dalam jumlah yang besar, dirinya, orang lain dalam berbagai segmen intelektual, umur, status, jenis kelamin, dst.

10. Penutup
Selamat kepada para peserta, dan terutama para juara. Semoga lomba ini benar-benar menjadi awal peserta sekalian dalam mengenal esai, sekurang-kurangnya mengenal istilahnya.

CATATAN RINGKAS

(Atas Naskah Para Peserta Sayembara)
Oleh Iwan Gunadi

Lumayan menggembirakan ketika cukup banyak mahasiswa peserta sayembara menulis esai ini memahami tema “hak asasi manusia (HAM)” tidak secara sempit, yakni hanya di wilayah politik. Meski begitu, sebagian besar mahasiswa lebih menyukai tema-tema besar dengan pembahasan yang terlalu umum. Kondisi seperti itu membuat banyak tulisan tak mampu mendalami tema secara tajam dan menukik.

Membingkai HAM dalam tema-tema kecil dan membumi merupakan upaya yang langka dalam sayembara menulis esai kali ini. Gagasan segar atau sekurangnya perspektif yang berbeda dalam memandang HAM dan peran mahasiswa sebagai pembela HAM juga tak mudah ditemukan. Fakta tersebut menunjukkan bahwa pemahaman para mahasiswa peserta sayembara ini terhadap tema yang ditentukan panitia masih terlalu formal, kaku, dan teoretis. Eksplorasi dan penjelajahan pemikiran di bawah payung tema itu masih sangat terengah-engah dilakukan mereka. Kenyataan tersebut dapat dipahami kalau kita memperhatikan masih sangat terbatasnya materi kepustakaan yang mampu mereka jangkau. Yang lebih memrihatinkan, dari materi kepustakaan yang mereka rujuk, sebagian besar berasal dari website atau weblog yang tak begitu dapat dipastikan kesahihan atau keakuratan informasi dan datanya. Apalagi, sumber-sumber dari dunia maya itu pun umumnya tak disebutkan secara rinci oleh mereka.

Kekecewaan juga tak sungguh-sungguh dapat ditepiskan ketika banyak mahasiswa terlalu asyik membahas HAM, sehingga lupa mengaitkannya dengan peran mahasiswa sebagai pembela HAM. Ada beberapa tulisan yang menarik tentang HAM terpaksa disingkirkan karena para penulisnya benar-benar melupakan peran mahasiswa seperti itu.

Kemampuan menulis merupakan persoalan besar lain yang dihadapi banyak mahasiswa peserta sayembara ini. Cara berpikir yang tak tertib dan sistematis yang ditunjukkan banyak tulisan membuktikan bahwa kemampuan menulis mereka masih direcoki problem mendasar tersebut. Belum lagi persoalan berbahasa yang mewadahi cara berpikir mereka. Mulai dari problem ketaktepatan penggunaan tanda baca, ketakcermatan penerapan ejaan, kesalahan penulisan kata, keterbatasan kosa kata, keruwetan sintaksis, hingga keberjejalan alenia.

Pemahaman para mahasiswa peserta sayembara ini terhadap apa yang disebut sebagai “esai” pun stereotif. Hampir semua peserta tak memahami esai sebagai suatu surat upaya yang khas, yang mencoba mempermainkan pikiran dan perasaan pembaca dengan logika dan imajinasi yang mengggoda serta tak berpretensi menyelesaikan masalah—sekurangnya tak berpretensi menawarkan solusi tunggal yang memaksa pembaca taklid dan pasrah. Hampir semua peserta cenderung memahami esai sebagaimana mereka menulis karya ilmiah atau sekurangnya karya ilmiah popular yang tetap patuh pada paradigma berpikir yang ilmiah pula, walaupun pemahaman ini pun tak mampu dituntaskan secara pas oleh kebanyakan peserta. Tak heran jika hampir semua peserta mengimbuhi tulisan mereka dengan judul-judul yang bergaya ilmiah pula. Teori dan catatan kaki pun ditebar di mana-mana. Saya tak tahu pasti apakah panitia juga memiliki pemahaman seperti itu atau sebaliknya ketika mencantumkan kata esai pada nama sayembara menulis ini. Dari keraguan tersebut, saya mengambil jalan tengah di antara kedua pemahaman itu,tapi dengan tetap mengedepankan pemahaman pertama.

Para pemenang dan nominator sayembara menulis ini, terutama kelompok pertama, mencoba berkelit dari berbagai keterbatasan yang dipaparkan di atas. Meski begitu, kalau tulisan-tulisan mereka mau dibukukan, kerja penyuntingan yang lumayan berat, terutama untuk tulisan-tulisan nominator, harus ditempuh.

Meski judulnya terkesan seperti karya ilmiah, pemenang pertama sayembara ini mampu menulis esai yang memikat dalam pemahaman pertama itu. Gagasan yang ditawarkannya pun lumayan segar, yakni bagaimana para mahasiswa yang mencoba menjadi pembela HAM memanfaatkan kearifan lokal masyarakat Sunda sebagai titik pijak. Tawaran ini seperti ingin menegasikan pandangan bahwa HAM hanya bermula dan menjadi tradisi masyarakat Barat. Cara penyajian yang runtut serta cara berbahasa yang segar, lincah, plus kosa kata yang lumayan kaya menjadi kelebihan lain esai sang kampiun ini.

Tangerang, 17 Agustus 2010-08

Tertanda,

Iwan Gunadi
Salah Seorang Juri

PENGUMUMAN PEMENANG (JAWARA DAN NOMINIE)

SAYEMBARA MENULIS ESAI TINGKAT MAHASISWA SE-INDONESIA 2010
(UKM Belistra FKIP Untirta)


Setelah dilakukan proses seleksi yang cukup ketat oleh panitia dan dewan juri terhadap 104 naskah peserta yang mengikuti sayembara menulis esai ini, serta melewati perdebatan yang lumayan panjang karena masing-masing juri memiliki kandidat yang berbeda, maka dengan segala pertimbangan dari dewan juri, panitia Sayembara Menulis Esai Tingkat Mahasiswa se-Indonesia 2010, memutuskan esai yang menjadi pemenang (Jawara dan Nominie) sebagai berikut:

Para Jawara:
Jawara I
: Mahasiswa dalam Perspektif Kearifan Lokal Masyarakat Sunda; karya Suguh Kurniawan, dari Universitas Widyatama Bandung, Jawa Barat.

Jawara II : Konsepsi Hak Asasi Berbudaya: Peretas Problematika Hak Asasi Manusia; karya Angga Aryo Wiwaha, dari STAIN Puwokerto, Jawa Tengah.

Jawara III : Internalisasi Ideologi dan Kompetensi Mahasiswa sebagai Human Rights Defender yang Lebih Bermartabat Sesuai Amanat Pembangunan; karya Muh. Ikhsan Hariadi, dari Universitas Airlangga, Surabaya.

Nominie:
1. Islam, HAM, dan Mahasiswa; Reposisi Mahasiswa sebagai Human Rights Defender; karya Khafif Amrizal, dari IAIN Walisongo, Semarang.

2. Kontribusi, Bukan Sekedar Prestasi; karya Ahmad Rifa’I Rif’an, dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.

3. Aksesibilitas Penyandang Cacat Terhadap Pendidikan Tinggi: Sebuah Isu HAM di Lingkungan Kampus yang Terlupakan; karya Joan Radina Setiawan, dari Universitas Indonesia, Jakarta.

4. Demo Mahasiswa: Perjuangan atau Pelanggaran Hak Asasi Manusia; karya Loni Hendri, dari UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

5. Berawal dari Halaman Rumah Sendiri, Berakhir dengan Seluruh Dunia di Bawah Rangkulan; karya Citra Nandini, dari Universitas Indonesia, Jakarta.

6. Membela HAM di Atas Rel Community Development; karya Bintang Bergas Cendikia, dari Institut Teknologi Bandung, Jawa Barat.

7. Jalan Mahasiswa: Bersuara, Bergerak, dan Berjuang; karya Ni Luh Putu Satyaning Pradnya Paramita, dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.

8. Balada Persenjataan Satpol PP Mengatasi Aksi Vandalisme Mahasiswa Demonstran: Upaya Pendekatan Persuasif Dan Humanis Penyelesaian Konflik Demokrasi Terkait Hak Asazi Manusia, karya I Gede Candra Kardana Noprasetyo, dari Universitas Udayana, Bali.

9. Pembela Kecil yang Berarti Besar; karya M. Majid Al-Hakim, dari Universitas Nusantara PGRI, Kediri.

10. Ketika Hak Supir Angkot Terpenuhi, Hak Hajat Hidup Orang Banyak Pun Dapat Terwujud; karya Cut Irna Setiawati, dari Institut Manajemen Telkom Bandung, Jawa Barat.

11. Belajar dari Idealisme Soe Hok Gie; karya Ananda Putri Permatasari, dari Universitas Indonesia, Jakarta.

12. Gerakan Mahasiswa Pembela HAM, Tunjukkan Kembali Taringmu Seperti di Gerakan 1998; karya Yudha Duta Utama, dari Universitas Diponegoro, Semarang.

13. Modal Sosial Gerakan Mahasiswa: Mendayagunakan Modal Sosial untuk Memulihkan Citra Positif Gerakan Mahasiswa sebagai Pembela HAM; karya Silvester Valentine, dari STMIK MKROSKIL, Medan.

14. Locke: Triple C, Sebuah Pemaknaan untuk ‘Green’ HAM; karya Noor Aspasia, dari Institut Pertanian Bogor.

15. Pergerakkan Mahasiswa Demi Perbaikan Bangsa; karya Fadhli Dzil Ikram, dari Universitas Brawijaya, Malang

Keputusan di atas bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat. Selanjutnya, para pemenang diminta mengirimkan biodata (lengkap dengan alamat kampusnya masing-masing) ke: ukmbelistra.fkip@yahoo.com, untuk diundang dalam kegiatan Diskusi dan Serah Terima Penghargaan pada tanggal 25-26 September 2010, di Kampus Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Serang-Banten, Jl. Raya Jakarta KM. 04, Pakupatan Serang.
Selamat kepada Para Jawara dan Nominie!

Dewan Juri:
Iwan Gunadi
Arip Senjaya
Niduparas Erlang (perwakilan panitia)

Kamis, 12 Agustus 2010

Diundur: Pengumuman Pemenang Sayembara Menulis Esai Tingkat Mahasiswa 2010

salam,

Sebelumnya, kami dari panitia Sayembara Menulis Esai Mahasiswa se-Indonesia 2010 UKM Belistra FKIP Untirta, mohon maaf kepada semua peserta sayembara sebab pengumuman pemenang yang diagendakan akan dirilis pada minggu ke-2 bulan agustus, belum dapat kami laksanakan.

Semua naskah yang lolos seleksi panitia memang telah pula melewati masa penjurian, namun, sampai pada tanggal 11 Agustus 2010, para dewan juri masih kesulitan menentukan para juara 1, 2, dan 3.

Untuk itu, kami umumkan kepada seluruh peserta sayembara menulis esai, bahwa Pengumuman Pemenang Sayembara Menulis Esai tingkat Mahasiswa se-Indonesia 2010, akan kami rilis pada tanggal 20 Agustus 2010, melalaui alamat e-mail semua peserta, dan akan dipoting di blog ini.

Sekali lagi kami mohon maaf atas keterlambatan ini, namun demikian, kiranya kami dan para dewan juri tak ingin gegabah dalam menentukan pemenang. semua dari kita mengharapkan yang terbaik....

salam,
Penitia Sayembara Esai 2010
(UKM Belistra FKIP Untirta)

Rabu, 04 Agustus 2010

Kompetisi Esai Mahasiswa 2010

Sebuah ikhtiar merawat negeri bhinneka; Tahun kedua dalam rangkaian kegiatan Kompetisi Esai Mahasiswa “MENJADI INDONESIA”.

Indonesia membutuhkan kamu.

Indonesia membutuhkan anak muda, pemilik sah masa depan, untuk mewarnai dan merawat dengan semangat bhinneka. Sebab, nasionalisme hanyalah kata-kata kosong tak bermakna jika tanpa diikuti sikap kritis, gagasan, dan juga harapan akan masa depan.

Kompetisi Esai Mahasiswa 2010 adalah sebuah ikhtiar merawat negeri yang bhinneka; Tahun kedua dalam rangkaian kegiatan Kompetisi Esai Mahasiswa “MENJADI INDONESIA”.

Kegiatan ini adalah kerja sama TEMPO Institute, Sekretariat Dewan Ketahanan Nasional, Perhimpunan Indonesia Tionghoa, didukung oleh President University, Mien R. Uno Foundation dan PLN.

Kami menantang mahasiswa, selapis tipis populasi yang beruntung menikmati pendidikan tinggi, untuk bersama menghargai pencapaian dan sekaligus menggali inisiatif membenahi centang-perenang persoalan bangsa.

TEMA: Nasionalisme Ala Gue

Subtema:
1. Budaya
Budaya adalah keseluruhan sistem sosial masyarakat. Bagaimana membangun Indonesia yang punya kebanggaan, keteguhan, tidak minder, dan malu korupsi?

2. Ekonomi – Kewirausahaan
Kewirausahaan diyakini sebagai kunci kebangkitan Indonesia. Namun, ada berbagai prasyarat yang menuntut terwujudnya kewirausahaan. Kemandirian, kejujuran, ketangguhan, kreativitas, dan juga iklim yang kondusif. Bagaimana kita bisa membangun prasyarat ini, mulai dari tingkat lokal? Bagaimana model pendidikan yang tepat untuk menumbuhkan kewirausahaan?

3. Kepemimpinan
Nilai kepemimpinan, terutama semangat melayani masyarakat, semakin tergerus. Apa yang bisa dilakukan anak muda, yang nota bene adalah pemimpin dan pemilik masa depan Indonesia, untuk menumbuhkan kepemimpinan yang solid?

4. Sosial
Indonesia negeri yang bhinneka. Namun, belakangan ini kebanggaan pada keberagaman ini mulai terkikis. Beberapa kelompok memaksakan kebenaran versi mereka sendiri. Apa yang kamu bisa lakukan untuk memupuk kebanggaan dan penghormatan pada keberagaman ini?

Jadwal
* Tenggat Pengiriman Naskah: 20 September 2010, 24.00 WIB
* Pengumuman Pemenang: 9 Oktober 2010
* Workshop untuk 20 Finalis: 25–28 Oktober 2010

Hadiah
* Juara I: Laptop + Rp 6.000.000
* Juara II: Laptop + Rp 4.000.000
* Juara III: Laptop + Rp 2.000.000

Ketiga pemenang plus 17 pengirim esai terbaik akan mendapat kesempatan mengikuti workshop kepemimpinan dan teknik menulis di Universitas President, Jakarta, bersama para tokoh Indonesia.

Informasi lebih lengkap lihat: http://www.tempo-institute.org

Epitaph: Tiga Lapis Kegelapan dan Penulis yang Bersembunyi

Oleh Niduparas Erlang

Rabu sore, tanggal 9 Juni 2010, sekira pukul 16.00, saya diserahi novel Epitaph karya Daniel Mahendra oleh salah satu relawan Rumah Dunia, Muhzen Den. Memang, dua atau tiga hari sebelumnya Muhzen Den telah meminta saya untuk menjadi salah satu pembicara dalam kegiatan bedah buku yang akan diselenggarakan di Rumah Dunia, pada 19 Juni 2010, pukul 13.30—sekarang ini. Wah..., saya yang pemula ini, dan masih pula belajar menulis, awam dalam menilai kualitas sebuah karya, cukup kebingungan untuk mengupas—kalau bisa menelanjangi-menguliti—karya seseorang.
Dan karena saya tidak mengenal penulisnya secara personal, maka saya mengiyakan saja permintaan itu dengan anggapan bahwa saya cukup berjarak dengan penulis Epitaph, Daniel Mahendra. Karena dengan demikian kiranya akan cukup objektif bagi saya untuk membedahnya, mendedahnya, sebab kedekatan kerap kali menghasilkan penilaian yang subjektif. Namun, apakah saya cukup mampu memberikan penilaian terhadap sebuah karya sastra? Entahlah.
Ketika membaca Epithaph, saya merasa terus terseret alurnya yang deras dan bahasanya yang “cair” dari awal hingga akhir novel ini. Serasa meluncur sederas dan selekas helikopter milik TNI-AD yang dikomersilkan yang ditumpangi Laras Sarasvati dan kawan-kawan yang mengalami kendala teknis hingga oleng dan terbetot kuat gaya gravitasi bumi. Saya menikmatinya, sungguh. Meluncur, meliuk, berkelok, berkitar-kitar, berpusing, berguncang, sembari sesekali bergidig ngeri, tertawa, sesak, mual, marah, emosi, tercabik, namun tidak cepat terbentur tanah yang menghampar atau jurang yang menganga. Sembari sesekali saya menggarisbawahi, mencoreti, dan menuliskan beberapa komentar. Berikut beberapa catatan saya mengenai Epitaph karya Daniel Mahendra:
Dalam pembacaan saya yang awam ini, secara struktur Epithaph mengingatkan saya pada Max Havelaar-nya Multatuli, dan Atheis-nya Achdiat K. Mihardja, yakni cerita yang berawal dari sebuah naskah yang diberikan seorang yang akan menjadi tokoh sentral dalam novel ini. Yang secara sederhana, tentu akan mengingatkan kita pula pada cerita berbingkai atau “cerita di dalam cerita” seperti Hikayat Seribu Satu Malam yang telah lama menjadi milik sastra rakyat di Indonesia, atau pada Pancatantra yang dikenal dalam sastra Melayu sebagai Hikayat Panca Tanderan atau Kalillah dan Demina. Namun, dalam ketiga karya klasik yang disebut terakhir ini, cerita yang disampaikan tidak melalui naskah tertulis melainkan melalui tuturan si tukang cerita. Lima cerita yang mengandung pengajaran moral, diceritakan Sumasanma kepada empat purta Raja Sukadarma dalam Kalillah dan Demina, misalnya.
Persamaan Epitaph dengan Max Havelaar karya Multatuli dan Atheis karya Achdiat K. Mihardja adalah, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, ceritanya disampaikan melalui sebuah naskah: tertulis. Sebagaimana dalam Max Havelaar kita menemui Sjaalman yang memberikan naskahnya kepada Droogstopel, yang kemudian menugasi Pemuda Stern untuk menyusun sebuah buku berdasarkan bahan-bahan dalam naskah itu, yang menjadi awal-mula penulisan cerita Max Havelaar yang kemudian membingkai pula kisah percintaan Saijah dan Adinda. Sedangkan dalam Atheis kita menemui Hasan yang menyodorkan naskah ceritanya yang berupa dichtung und waherheit Hasan sendiri kepada “saya”. Sementara dalam Epithap—jika anda sudah membacanya(?)—kita akan menemui Haikal yang menyerahkan catatan-catatannya (naskah) kepada Langi dan memintanya untuk membuatkan novel berdasarkan catatan-catatan tersebut. Meskipun, struktur dalam Max Havelaar memang lebih rumit dan kompleks jika bandingkan dengan Atheis maupun Epitaph. Namun, tentu saja ketiganya memiliki perbedaan yang paling mendasar, yaitu tema dengan segala kompleksitas persoalan-persoalan di dalamnya, kemelut yang dialami tokoh-tokohnya, yang hendak disuguhkan kepada kita sebagai pembaca.
Sebetulnya, cerita berbingkai seperti ini bukanlah yang sama sekali baru, walaupun untuk Atheis, H.B. Jassin pernah menyitir bahwa baru pertama kali (ia) bersua dengan roman Indonesia yang penceritaannya dilakukan orang ketiga, sang juru cerita: “saya”.
Menurut Otto Lohmann pola karangan yang mendudukkan beberapa cerita dalam sebuah cerita yang merangkumnya sehingga merupakan kesatuan, menandakan rencana artistik yang sudah jauh berkembang. Tetapi yang sudah pasti adalah, bahwa cerita berbingkai berasal dari cerita sehari-hari yang sahaja. Dalam bentuknya yang tertua, cerita berbingkai dekat pertaliannya dengan jenis-jenis cerita rakyat, cerita peri, cerita jenaka, cerita binatang, dan pepatah-pepatah1. Lebih lanjut Hooykaas memandang cerita berbingkai sebagai bentuk perkembangan yang sudah lanjut di dalam kesusastraan lama. Di dalam cerita berbingkai terdapat dramatisasi yang lebih kuat dengan menjalin berbagai kisah, yang mungkin berbeda-beda coraknya ke dalam suatu bentuk yang tetap2. Dan Hooykaas berpendapat, bahwa cerita berbingkai berasal dari India3.
Sebelum berbicara lebih jauh tentang cerita berbingkai, serta efek yang dihasilkan dari gaya penceritaan seperti ini, baiknya kita menyelam terlebih dahulu ke dalam novel Epithap dan berkenalan dengan mesra dengan Langi, Laras Sarasvati, dan Haikal. Menikmati efektivitas gaya penceritaan dengan menggunakan sudut pandang “aku” tokoh tambahan (first personal peripherial), dan “aku” tokoh utama (first person central) hingga menjadikan novel Epitaph nampak begitu objektif dan “benar-benar” terjadi.
Secara umum, Epithaph dibagi ke dalam sepuluh bab, (1) Dia Datang, (2) Sebuah Manuskrip, (3) Sinematografi, (4) Meninggalkan yang ditinggalkan, (5) Agustus 1994, (6) Sibayak, (7) April 1996, (8) Negosiasi, (9) Epitaph, dan (10) Sebelum Epilog.
Adalah Langi, seorang penulis, juga editor di beberapa penerbitan, yang pertama-tama bercerita kepada kita (pembaca) dengan sudut pandang “aku” tokoh tambahan, bahwa ia kedatangan seorang kawan dari masa kecilnya, Haikal, yang menyerahinya catatan-catatan (naskah) dan memintanya untuk mengolah catatan-catatan itu menjadi sebuah novel. Awalnya Langi enggan bahkan untuk sekadar membaca catatan-catatan kawannya itu. Keengganan Langi, selain karena merasa tak ada gunanya membaca catatan-catatan orang lain apalagi jika hanya berisi basa-basi cinta yang sedari dulu begitu-begitu saja. “Hanya jalan ceritanya saja yang dibeda-bedakan. Bumbunya disedap-sedapkan. Dan lika-likunya seolah dibuat elok nyaman”, kata Langi. Juga karena Haikal yang dikenalnya adalah seorang yang memiliki kemampuan untuk menganyam teks fiksi. Hingga pada sebuah malam, tanpa alasan yang jelas—atau barangkali sebenarnya Langi penasaran juga—akhirnya ia menyentuh dan membacanya, hingga terseret ke dalam teks-teks tersebut.
Pada bagian berikutnya, pembaca “dipaksa” membaca cerita Laras Sarasvati. Jadi pada bagian ini, bab (2) Sebuah Manuskrip, (3) Sinematografi, (4) Meninggalkan yang ditinggalkan, dan (5) Agustus 1994, sebanyak 175 halaman (dari halaman 12 s.d. halaman 186), adalah cerita Laras dengan sudut pandang “aku” tokoh utama, yang berkisah tentang sebuah tragedi jatuhnya helikopter milik TNI AD, jenis BO 105 dengan Nomor Registrasi HS 7060, yang disewa (baca: dikomersilkan) dan ditumpangi Laras Sarasvati, Tedi Kurniawan, dan Birhi Lantang, serta pilot dan copilot, untuk pengambilan gambar dari atas Gunung Sibayak, Sumatera Utama, dalam sebuah projek pembuatan film dokumenter dari sebuah BUMN.
Meskipun, pada bab 2, Sebuah Manuskrip, kita masih dihadapkan pada pergantian sudut pandang “aku” tokoh utama (Laras) dengan “aku” tokoh tambahan (Langi), tentang berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik, dan hubungannya dengan sesuatu di luar dirinya. Barangkali hal ini dimaksudkan Daniel Mahendra untuk menyadarkan kita bahwa cerita yang tengah dikisahkan Laras adalah sebuah manuskrip yang tengah dibaca Langi. Sampai di sini, kita akan dengan mudah menganggap bahwa catatan-catatan itu ditulis oleh Laras Sarasvati sendiri.
Tetapi kemudian saya menemukan kejanggalan dalam penggunaan sudut pandang “aku” tokoh utama Laras ketika menceritakan tentang keadaan yang dialami mamanya, dengan teknik pertunjukan (showing). Coba perhatikan kutipan berikut:
Tetapi kini, lihatlah mama. Ia tergeletak begitu saja di ranjang. Ia hanya menangis dan menerawang. Membayangkan dan bertanya-tanya: di mana aku? Masih hidupkah aku? Atau sudah mati? Kalau hidup, bagaimana keadaannya? Kalau mati, di mana keberadaannya? Mama yang paling merasa terpukul atas hilangnya pesawat helikopterku.
Mama hanya menerawang di ranjang. Air mata tak henti-henti menyeberangi pipinya. “Laras… Laras… Di mana kamu, Laras….” Mamaku terisak-isak. “Laras….” (hlm. 149-150)

Pun menggambarkan keadaan “Haikal” dengan teknik yang sama:

Seorang lelaki duduk memandangi potret seorang gadis di sebuah kamar berukuran tiga kali lima meter. Warna dindingnya biru meneduhkan. Ada beberapa figura yang dipaku secara acak. Deretan buku memenuhi rak dibawahnya. Di samping sebuah stereo set, ratusan kaset tersusun secara abjad. Di bawah payung lampu duduk lima puluh lima watt, ada potret wajahku sedang tersenyum: tampak aku menggelayut manja di bahu lelaki itu (hlm. 153)

Tentu saja ini terasa janggal, mengingat “aku” Laras yang tengah berkisah tidak berada di setting tempat dan setting waktu yang tengah diceritakannya. Sebab penceritaan “aku” tokoh utama sebagai fokus pusat kesadaran, pusat cerita, terbatasi atau mestinya hanya mampu menceritakan sesuatu di luar si “aku”, baik peristiwa, tindakan, dan tokoh lain, hanya jika semua itu berhubungan dengan dirinya. Dan penggunaan teknik showing terbatasi hanya pada apa-apa yang dapat diindrai si “aku” dengan penglihatannya. Secara sederhana, penggunaan teknik showing ini membatasi kita dengan ketidakmungkinan mendeskripsikan gerak-laku, ekspresi, terlebih perasaan, seseorang yang berada di belakang punggung kita, tanpa kita membalikkan badan dan melihatnya secara langsung.
Sebetulnya, “aku” Laras yang tidak berada di setting tempat dan setting waktu itu, masih dapat menuturkan peristiwa-peristiwa di luar dirinya, dengan menggunakan teknik lebih bersifat penceritaan (telling), bukan pertunjukan (showing) semacam itu.
Kejanggalan serupa terulang pada penggunaan sudut pandang “aku” Haikal, yang juga menggunakan teknik showing untuk menggambarkan keadaan Mas Oki, kakaknya Tedi, ketika melakukan pendekan diplomasi dengan militer yang mengamankan (baca: menyembunyikan) tulang belulang Laras, Tedi, dan Birhi, dan setelah menyepakati akan memenuhi semua syarat yang diajukan:
Mas Oki sejenak tercekat. Terlebih ketika melihat kerangka adik kandungnya, Tedi. Tulang belulang adiknya itu terlihat yang paling lengkap dan utuh disbanding yang lain. Namun yang membuatnya terhenyak adalah: tengkorak adiknya telah pecah. Mas Oki terkelu. Ia meraba tulang belakang adiknya. Ia merasa tangannya gemetar dan matanya berkaca-kaca. Betapa kau tersimpan di dalam lembah selama hamper dua tahun, Dik, batin Mas Oki pilu. Pipi Mas Oki mulai digerimisi air mata (hal. 326).

Dalam bagian penceritaan dengan sudut pandang “aku” Haikal, pada bab (6) Sibayak, (7) April 1996, (8) Negosiasi, dan (9) Epitaph, sebanyak 513 halaman (dari halaman 187 s.d. halaman 339), Daniel Mahendra terasa sekali terbebani ide, terbebani data-data berupa potongan-potongan berita, terbebani hasrat menyuguhkan “fakta”. Dan, kekurangan lainnya yang saya anggap berlebihan adalah ketika fragmen pertemuan antara Laras dan Haikal di masa awal-awal mereka pacaran kembali diceritakan “aku” Haikal (hal. 245-251). Padahal cerita pertemuan mereka telah pula disampaikan “aku” Laras sebelumnya (hal. 73-81). Serta mengulangi kembali sebuah sajak yang ditulis Haikal untuk kekasihnya Laras (244-245), padahal dalam penceritaan “aku” Laras sajak tersebut juga sudah disinggung (hal. 88-89). Hingga timbul pertanyaan, apa pentingnya pengulangan-pengulangan ini? Untuk menyebutnya sebagai penekanan, saya kira juga kurang tepat.
Kemudian saya, dan barangkali pembaca pada umumnya, akan merasakan bahwa Daniel Mahendra sangat kurang mengeksplorasi keguncangan jiwa “aku” Haikal dalam bagian ini, kecuali ketika “aku” Haikal pergi ke suatu perkampungan—entah di mana—menemui seorang nelayan tua. Terlebih, latar Gunung Sibayak sebagai setting yang cukup penting dalam novel ini, kurang dieksplorasi dengan canggih, dan terasa diceritakan “aku” Haikal sambil lalu saja—kecuali data statistik berupa footnote. Coba perhatikan kutipan berikut (cetak miring dari saya, NE):
………. Malam terasa hening, sunyi, juga senyap. Jauh dari keramaian. Jauh dari bising kota. Ini adalah hutan dalam arti sesungguhnya. Aku sendiri hanya bisa tidur untuk beberapa jam…..
……… Aku berjalan mengitari daerah sekitar. Betul-betul gelap gulita jika tanpa api unggun yang masih tersisa menyala. Aku berjalan pelan. Kadang membayangkan kalau tiba-tiba saja Laras muncul di depanku. Mungkin ini pikiran gila….. (hal. 267)

Dua kalimat dari dua paragraf yang dimiringkan itu, terkesan hanya berupa gambaran seadanya, gambaran umum semua hutan di mana pun, untuk sekadar mengatakan bahwa “aku” Haikal tengah berada di dalam hutan. Namun, saya malah jadi bertanya-tanya, hutan dalam arti sesungguhnya itu yang seperti apa? Dan hutan yang betul-betul gelap gulita jika tanpa api unggun itu yang seperti hutan mana?
Tapi, baiklah, kita tinggalkan saja pertanyaan itu. Kini marilah kita menyelam lebih dalam, menyapa tokoh-tokoh malang dalam cerpen-cerpen Haikal. Sebetulnya ada tiga buah cerpen yang dimasukkan ke dalam novel Epitaph. Namun, hanya dua cerpen yang benar-benar terlepas dari inti cerita ini, sebab yang satunya adalah cerpen yang berkisah tentang Haikal semasa di SMP yang telah mulai menulis serial untuk majalah sekolah.
Cerpen pertama, bagi saya, cukup menegangkan sekaligus mengerikan. Di mana Raswan (tokoh dalam cerpen itu) dibantai habis penduduk kampung karena dianggap sebagai biang keresahan yang kerap menimbulkan keonaran. Raswan menerima tuduhan, menerima hukuman “a la Barbar”, tanpa pengadilan. Raswan mati dibantai orang-orang kampung (hal. 155-168). Baiklah, saya kutipkan saja di sini bagian yang menurut saya, paling mengerikan itu:
Dua dari empat orang itu kembali memaksanya berdiri. Raswan sudah tidak mampu. Ia sempoyongan ke sana kemari. Orang kedua membacok perutnya. Dagingnya tercabik. Darahnya muncrat. Raswan meronta. Orang ketiga mencabik mukanya. Raswan mengerang. Orang keempat menebas batok kepalanya. Ya Tuhan, sungguh tidak pantas untuk ditulis di sini, tapi, mulai dahi hingga kepala bagian belakang sudah berpisah bagian. Raswan sudah tak berbatok kepala. Otaknya berhamburan. Ketika tubuhnya hendak ambruk, orang pertama sudah menebas lehernya.

Cerpen kedua lebih berkesan murung, pilu, menyayat perasaan. Bercerita tentang Mirna, anak Bu Surtini, yang cantik, kembang kampus, dan karena kecantikannya Mirna diperkosa, kemudian gila. Dalam keadaan gila, Mirna kabur dan tidak ditemukan selama beberapa tahun. Suatu ketika Mirna ditemukan kembali oleh ibunya, Bu Surtini, namun dalam keadaan bunting. Mirna yang gila tetapi bunting—entah oleh siapa—akhirnya melahirkan bayi cantik tapi bisu. Setelah melahirkan itu, Mirna kembali melarikan diri. Hingga kemudian Mirna ditemukan mati secara tragis: mengambang di sungai dengan banyak tusukan benda tajam ditubuhnya. Tinggal Bu Surtini yang terdiam merenung-murung (hlm. 169-180):
……….. Bu Surtini hanya diam dan termenung. Ia hanya memandangi cucu yang digendongnya. Anak Mirna. Yang masih bayi, cantik, mungil, menggoda, bisu!

Teknik memasukkan cerpen ke dalam novel ini boleh kita anggap sebagai upaya untuk mengisi volume novel, di satu sisi, dan sebagai upaya membuat variasi cerita, di sisi lain4. Dan saya pikir, kedua tujuan ini tercapai dengan baik dalam novel Epithaph. Menyisipkan cerita pendek yang berbeda, meski sama-sama berkisah tentang kematian dengan variasi proses kematiannya yang lain, serta menggunakan sudut pandang yang lain pula, yakni sudut pandang “dia maha tahu”, adalah sebuah varian yang menyenangkan dalam menikmati suatu bacaan.
Di samping itu, pertanyaan-pertanyaan filosofis yang diselipkan pada tokoh-tokoh dalam novel ini membuat saya kembali merenung-renungkan dan memaknai kembali realitas sosial, kesepian, cinta, hubungan sosial, penungguan, kematian, dan sebagainya.
Kini, kita boleh membagi novel Epitaph menjadi tiga lapis berdasarkan sudut pandang penceritaannya, yang masing-masing menggunakan sudut pandang “aku” tokoh tambahan (first personal peripherial): Langi, “aku” tokoh utama (first person central): Laras Sarasvati dan Haikal, dan sudut pandang “dia” maha tahu (omniscient) dalam cerpen-cerpen Haikal.
Jika kita susun tiap-tiap sudut pandang itu, akan kita dapati gambaran demikian: cerita “aku” Langi berada pada lapis paling luar (lapis ke-1), cerita “aku” Laras dan “aku” Haikal—disejajarkan—(lapis ke-2), dan cerita dalam cerpen-cerpen Haikal yang menjadi sisipan novel ini (lapis ke-3). Dan, ah, inilah yang kemudian saya sebut sebagai “tiga lapis kegelapan”, seperti halnya sebuah makam, di mana si mati dibalut dengan kain kafan (lapis ke-3), lalu ditutup dengan papan atau bambu atau dilapisi peti mati (lapis ke-2), untuk kemudian timbun dengan tanah (lapis ke-1). Tentu saja, pertama-tama yang kita jumpai adalah lapis ke-1: tanah = “aku” Langi.
Dan karena cerita yang berlapis-lapis inilah, beberapa kejanggalan yang terjadi dalam novel Epitaph seperti disinggung di atas—yang ternyata juga dirasakan oleh Langi—itu termaafkan dengan segera tatkala kita sampai pada dialog antara Langi dengan Haikal, selepas dari makan Laras Sarasvati. Dan pertanyaan Langi berikut ini cukup mewakili pertanyaan kita (pembaca):
“Kalau memang seperti itu kejadiannya, kenapa Laras sempat merawikannya? Maksudku, di awal-awal catatan itu, seolah Laras yang menceritakan kronologis kejadian itu. Ia yang berkisah. Apa ia memang sempat menulisnya? Secara detail pula? Bukankah helikopternya langsung jatuh masuk ke dalam lembah? Apa ada catatan ditemukan? Kan nggak mungkin. Atau… semua itu hanya khayalimu belaka berdasarkan kecelakaan yang memang sungguh terjadi barangkali?”
“Nggak ada catatan seperti itu ditemukan di bangkai helikopter.”
“Berarti ini hanya fantasi belaka.”
“Semua yang ada dalam catatan itu adalah kejadian yang sesungguhnya.” (hal. 352-353)

Maka dengan sekuat ruh saya pun memaki: “Sialan!” (menirukan gaya Haikal, Laras, Langi ketika merasa dipermainkan….)
Dengan demikian, sang pengarang Epitaph, Daniel Mahendra, “bebas-merdeka” dari segala kekurangan dan kelemahan novel ini, sebab segala yang terceritakan adalah “catatan-catatan” Haikal. Ya, tokoh Haikal yang “dihidupkannya” telah diberikannya otonomi untuk mandiri dan mengambil alih kekuasaan pengarang. Maka dengan menggunakan struktur atau model cerita berbingkai, Epitaph telah berhasil menyuguhkan sebuah cerita yang akan dengan mudah dianggap sebagai fakta, dan dinggap benar-benar pernah terjadi. Sebab sang pengarang bersembunyi di balik tokoh Haikal yang mandiri, di luar tiga lapis kegelapan tadi. Dan dengan teknik semacam ini, saya (pembaca) telah benar-benar dibuat terus-menerus memikirkan tokoh-tokohnya selama berhari-hari, dan tentu saja “dijebak” untuk penasaran akan kelanjutan cerita Langi, Laras Sarasvati, dan Haikal. Maka, sungguh, kita akan sangat menunggu dua novel berikutnya: Epigraf dan Epilog.
Dan barangkali, kini Daniel Mahendra boleh berujar seperti Multatuli yang akan mengiyakan pendapat orang yang menuduh bukunya (Max Havelaar) sebagai buku yang ruwet… terbengkalai… mencari sensasi… gayanya jelek… pengarangnya tidak cakap… tidak berbakat… tidak punya metode….: “Baik… baiklah! Tetapi ini sungguh pernah terjadi. Ini fakta.” 5 [*]

Catatan:
1 Subagio Sastrowardoyo, Sastra Hindia Belanda dan Kita, (Jakarta: Balai Pustaka, cet. 2, 1990), hal., 59.
2 Subagio Sastrowardoyo, po.cit., hal 162.
3 Subagio Sastrowardoyo, po.cit., hal 60.
4 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, terjemahan Melani Budianta (Jakarta: Gramedia, cet. 4, 1995), hal., 292.
5 Jawaban Multatuli yang sebenarnya adalah: “Baik… baiklah! Tetapi orang Jawa dianiaya!”

Serang, 12-17 Juni 2010



Niduparas Erlang, penikmat cerita, mahasiswa Prodi Diksatrasia FKIP Untirta, aktif bergiat sembari sesekali belajar membaca dan menulis di UKM Belistra.

Sayembara Cerpen & Cerber Femina 2010

Syarat Umum
• Peserta adalah Warga Negara Indonesia.
• Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik & benar dan menggunakan ejaan yang disempurnakan.
• Naskah harus karya asli, bukan terjemahan.
• Tema bebas, namun sesuai untuk majalah femina.
• Naskah belum pernah dipublikasikan di media cetak, elektronik & online dan tidak sedang diikutsertakan dalam sayembara lain.
• Naskah dilampiri formulir asli dan fotokopi KTP.
• Formulir yang diunduh dari www.femina.co.id merupakan formulir asli.
• Peserta hanya boleh mengirim 2 naskah terbaiknya.
• Hak untuk menyiarkannya di media online ada pada PT Gaya Favorit Press
• Redaksi berhak mengganti judul dan menyunting tanpa mengubah isi.
• Naskah yang tidak menang, namun memenuhi syarat, akan dimuat di femina. Penulis akan mendapat honor sesuai standar femina.
• Keputusan juri mengikat. Tidak dapat diganggu-gugat dan tidak ada surat menyurat.
• Lomba ini tertutup untuk karyawan Feminagroup.

Syarat Khusus Cerpen:
• Diketik dengan komputer di atas kertas HVS kuarto dengan jarak dua spasi. Font Arial ukuran 12.
• Panjang naskah 6-8 halaman, dan dikirim sebanyak dua rangkap disertai 1 (satu) CD berisi naskah.
• Amplop kiri atas ditulis: Sayembara Mengarang Cerpen femina 2010.
• Naskah ditunggu selambat-lambatnya 31 Agustus 2010.
• Pemenang akan diumumkan di femina, terbit akhir November 2010.
• Karya pemenang utama akan dimuat di femina edisi tahunan 2011.

Syarat Khusus Cerber:
• Diketik dengan komputer di atas kertas HVS kuarto dengan jarak dua spasi. Font Arial ukuran 12.
• Panjang naskah antara 40-50 halaman.
• Dijilid dan dikirim sebanyak dua rangkap, disertai 1 (satu) CD berisi naskah.
• Amplop kiri atas: Sayembara Mengarang Cerber femina 2010.
• Naskah ditunggu selambat-lambatnya 30 November 2010.
• Pemenang akan diumumkan di femina, terbit akhir April 2011.

(dari www.kners.com)

Lomba Cipta Cerpen Pemuda 2010

Tema:
YANG MUDA YANG KREATIF

Ketentuan Lomba

1. Peserta adalah Warga Negara Indonesia (P/L) berusia 16-30 tahun
2. Penulisan cerpen dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar
3. Cerpen diketik dengan huruf Times New Roman, Ukuran 12, spasi 1.5, maksimal 10 halaman kwarto

4. Cerpen yang diikutkan lomba adalah karya yang belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun dan dipublikasikan di media massa apapun
5. Setiap peserta hanya boleh mengirimkan satu judul cerpen dari karya terbaiknya
6. Melampirkan biografi singkat maksimal satu halaman. Fotokopi KTP dan mencantumkan nomor kontak aktif (rumah, kantor atau handphone) yang bisa dihubungi
7. Batas terakhir pengiriman cerpen pada Selasa, 17 Agustus 2010
8. Naskah cerpen yang sudah dikirim menjadi hak panitia dan tidak dikembalikan oleh panitia
9. Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat oleh pihak manapun

Alamat Pengiriman Naskah Cerpen
Pengiriman via pos:
* Panitia Lomba Cipta Cerpen Pemuda 2010
Asisten Deputi Pengembangan Wawasan dan Kreatifitas Pemuda, Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda, Kementrian Pemuda dan Olahraga RI
Jalan Gerbang Pemuda No.3, Senayan, Jakarta

* Pengiriman via email:
dielsmi@yahoo.com
anwar_rizqi85@yahoo.com

Jadwal Pengumuman Dewan Juri
Senin, 30 Agustus 2010

Hadiah Pemenang
1. Dewan juri memutuskan 22 cerpen sebagai nominator. 22 cerpen tersebut akan dibukukan oleh Kementrian Pemuda dan Olahraga bekerjasama dengan Penerbit Auracitra. Dari 22 nominatir, dewan juri memilih 3 pemenang dan 3 pemenang harapan. 16 tersisa tetap disebut nominator

2. Tiga pemenang akan mendapatkan hadiah berupa piagam penghargaan, buku kumpulan cerpen dan uang sebesar:
Juara 1: 6 juta
Juara II: 5 juta
Juara III: 4 juta

3. Tiga pemenang harapan akan mendapat hadiah berupa piagam penghargaan, buku kumpulan cerpen dan uang sebesar:
Juara Harapan 1: 3 juta
Juara Harapan II: 2 juta
Juara Harapan III: 1 juta

4. Enambelas nomonator akan mendapatkan piagam penghargaan, buku kumpulan cerpen dan uang masing-masing sebesar Rp.250.000

5. Total hadiah uang tunai sebesar 25 juta
6. Hadiah uang tunai tersebut di atas belum termasuk pajak
7. Hadiah akan ditransfer ke rekening peserta lomba

*Peserta dipersilahkan bebas menulis cerpen dengan judul apa saja namun tetap memperhatikan tema di atas

(dari www.kners.com)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites