* Catatan Dewan Juri
Kami menerima 220 cerpen. Sebagian
besar cerpen tidak menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. Bahasa Indonesia
sebagai media penulisan sastra belum sepenuhnya didayagunakan. Di sana-sini
masih kami temukan kesalahan penulisan ejaan, pemilihan kata, logika kalimat,
hingga struktur kalimat yang kendor dan berbelit-belit. Masalah ini tentu saja
masalah yang bisa diatasi oleh mereka yang telah paham tata bahasa, dan lebih
dari itu, mereka yang percaya bahwa bahasa Indonesia bisa menjadi media terbaik
untuk penulisan sastra.
Tetapi itu barulah separuh
kebenaran. Separuhnya lagi adalah keterampilan menulis sastra itu sendiri.
Keterampilan ini mungkin dipengaruhi oleh bakat, tetapi kami lebih yakin lagi bahwa
semua ini dipengaruhi oleh disiplin membaca dan kemampuan memperluas wawasan
kesusastraan. Tentu saja Indonesia adalah sumber yang melimpah untuk penulisan
sastra, sebagaimana negeri-negeri lain yang tak kalah menggoda. Tetapi itu
hanya berguna bagi mereka yang benar-benar paham dan mengetahui bagaimana
mengolah kekayaan sumber daya itu.
Kedua keterampilan ini pada akhirnya
mesti dikuasai oleh para penulis sastra kita. Sebab jika tidak, mereka hanya
akan mengandalkan bakat alam yang pada akhirnya akan aus dan habis karena
dieksploitasi terus-menerus tanpa mencari cadangan pengetahuan atau wawasan di
luar dirinya. Memang, kami rasakan betapa kuatnya hasrat untuk mengandalkan
bakat alam semata. Tindakan ini sama dengan mengambil begitu saja bahan cerita
dari sumber ciptaan tanpa melakukan pencanggihan atau mengerjakan keterampilan
untuk bahan tersebut.
Banyak kami jumpai, misalnya,
penulis yang mencoba menulis cerita horor dan melodrama dari kehidupan kita
sehari-hari. Tetapi mereka kerap kali tidak bisa mengontrol bentuk yang sudah
mereka pilih, sehingga bentuk itu berkembang tanpa kendali dan menjadikan
cerita yang jauh dari harapan. Jika tokohnya tidak realistis, lantaran hanya
menjadi corong si pengarang, pasti dunia rekaan itu dijejali dengan aneka
keajaiban peristiwa tanpa mampu mendudukan keajaiban itu pada tempat yang
wajar.
Banyak pula cerpen yang mengambil
latar dan tokoh yang unik. Misalnya, ada tokoh yang bertenaga kinestetik
dan mengidap skizofernia. Sementara di cerpen lain ada kyai yang bertemu Nabi
Khidir, di samping tokoh yang berupa dinding dan api. Yang sureal dan
absurd memang banyak digarap dalam lomba ini. Seakan-akan si pengarang
percaya bahwa Indonesia adalah lahan subur surealisme dan absurditas, yang
berbeda dari jenis yang digarap para pengarang di Eropa pada dasawarsa awal
abad ke-20. Sayangnya, keganjilan atau keajaiban yang sudah dipilih ini tidak
dirawat dengan telaten, dengan kepiawaian yang membuat pembaca menerimanya.
Cacat-cacat pengisahan ini akhirnya membuat cerita tersebut “batal demi hukum”
dan hanya jatuh pada keanehan dan keganjilan yang dibuat-buat.
Sebagian besar cerita juga masih
berupa kerangka cerita yang lebih panjang. Sang pengarang hanya memadatkan
struktur yang mestinya bisa diurai lebih luas dan panjang lagi demi mendapatkan
cerita yang rinci dan masuk akal. Di sana-sini banyak plot yang renggang dengan
kisah yang terjebak pada stereotipe dan kisah romansa remaja.
Kelemahan-kelemahan ini bisa diatasi
dan kami berharap masih ada peluang untuk memperbaikinya. Tetapi, bukanlah
tugas perlombaan ini untuk memperbaiki mereka. Mungkin perbaikan ini bisa
dilakukan pada sebuah lokakarya atau workshop dalam jangka waktu tertentu.
Sebab sejatinya, sebuah perlombaan hanya menerima karya yang sudah dianggap
selesai dan penjurian bukanlah forum untuk membereskan ketidaksempurnaan sebuah
karya. Yang bisa dilakukan oleh proses penjurian adalah memberikan catatan
kritis atas hasil karya yang masuk, dengan harapan catatan itu menjadi bahan
pertimbangan si pengarang. Tetapi itu tidak wajib hukumnya, semuanya kembali
kepada si pengarang: Apakah ia akan menjadikan catatan penjurian sebagai cermin
yang merefleksikan keterampilannya dalam menulis sastra ataukah itu hanya sebentuk
seruan tukang obat pinggir jalan.
Di antara banyaknya masalah yang
merundung penulisan cerpen peserta lomba, kami menemukan satu-dua penulis yang
cukup berbakat. Memang bahasa Indonesia yang mereka gunakan belumlah sempurna,
tetapi tampak dari cerita itu potensi yang besar, yang jika dengan ketekukan
akan terlihat hasilnya di masa datang. Kami juga menemukan cerpen-cerpen yang
cukup kuat untuk menjadi cerita dan bisa membetahkan kami dalam menjuri mereka.
*)
Dengan berbagai pertimbangan di
atas, kami akhirnya mengambil keputusan sebagai berikut (urutan sesuai abjad):
1.
A’yat Khalili ♦ “Nemorkara” (Institut
Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Madura)
2.
Ai El Afif ♦ “Masappa
Tappa” (Universitas Muhammadiyah Malang)
3.
Ari
Mami ♦ “Manusia
Sayap ke-222” (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
4.
Ashari Ratnasari ♦ “Waktu untuk Menerima”
(Universitas Airlangga Surabaya)
5.
Gilang Satria Perdana ♦ “Khafilah Kanaan”
(Universitas Indonesia Depok)
6.
Hana Eka Ferayyana ♦ “Senja yang Terluka”
(Universitas Diponegoro Semarang)
7.
Ilham Mahendra ♦ “Balonku Ada Lima”
(Universitas Pendidikan Indonesia Bandung)
8.
Ismailia Jenie ♦ “Barongsai” (Universitas
Padjadjaran Bandung)
9.
Larno ♦
“Panggil Aku Gemblak” (Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta)
10.
Lelita Primadani ♦ “The Owl Promise” (Universitas Diponegoro Semarang)
11.
Mawaidi D Mas ♦ “Angin Kematian” (Universitas
Negeri Yogyakarta)
12.
Mirani Dyah Claresti ♦ “Pada Pinggang Bajumu”
(Politeknik Manufaktur Negeri Bandung)
13.
Nafi Nayka ♦ “Bon Blangtelon” (Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta)
14.
Nurul Maria Sisilia ♦ “Kucing-kucing dalam
Karung” (Universitas Pendidikan Indonesia Bandung)
15.
Rahmadyah Kusuma Putri ♦ “Beli Mimpi”
(Universitas Negeri Medan)
16.
Royyan Juliani ♦ “Perjamuan Sunyi”
(Universitas Negeri Malang)
17.
Salimun Abenanza ♦ “Seikat Benang” (Sekolah
Tinggi Teknologi Nuklir BATAN Yogyakarta)
18.
Septantya Chandra Pamungkas ♦ “Denting yang
Meninggalkan Gelas-gelas Sirup pada Suatu Malam ketika Mereka Terbunuh” (Universitas
Brawijaya Malang)
19.
Sulfiza Ariska ♦ "Sarkovagus” (Universitas Terbuka, Yogyakarta)
20.
Teguh Afandi ♦ “Dari Tenggara Juana”
(Universitas Gadjah Mada Yogyakarta)
Ditetapkan di Jakarta, 09 Oktober
2012
Dewan Juri
Nenden Lilis Aisyah
Raudal Tanjung Banua
Zen Hae
*) Keterangan: Catatan dewan juri ini
tidak kami (panitia) tayangkan secara utuh. Untuk informasi pengumuman pemenang,
20 nomine akan dihubungi langsung oleh panitia baik lewat e-mail maupun telepon.
2 komentar:
Min, saya Ismailia Jenie, mau tanya kalau acara penghargaannya jadi tgl 20 Oktober di Untirta?
Saya belum dapat surat undagannya via e-mail.
Mohon infonya, makasih ya, sebelumnya :)
Panitia catatan dewan juri bisa diliat dimana ya?
Posting Komentar